Ustaz Abdul Somad (UAS) dan beberapa ustaz kondang lain, seperti Arifin Ilham atau Adi Hidayat, kabarnya "diblokir" dari list 200 mubalig atau penceramah yang direkomendasikan oleh Kemenag RI. Terkait dengan hal tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, publik tidak seharusnya menyalahkan kementerian yang dipimpinnya.
Menurut Lukman, nama-nama tersebut merupakan hasil masukan dari sejumlah ormas Islam, termasuk masjid-masjid besar dan tokoh ulama. Nama-nama mubalig itu diperlukan, karena banyak yang meminta, baik dari instansi pemerintah maupun BUMN terkait dengan masuknya bulan Ramadan.
Meski Kemenag merilis 200 mubalig untuk digunakan, Lukman menekankan sifatnya tidak wajib. Apabila ada yang menginginkan nama di luar itu, Kemenag tak mempersoalkan karena nama-nama mubaligh itu dibuat hanya untuk memenuhi permintaan dari kementerian/lembaga serta BUMN, yang bingung mencari penceramah selama Ramadan ini (goriau.com, 19 Mei. 2018).
Pernyataan Menteri ada benarnya. Rekomendasi 200 mubaligh itu sebagai respons atas banyaknya reaksi dari sejumlah ormas Islam, khususnya NU dan Muhammadiyah, yang dinilai mulai resah dengan banyaknya penceramah yang diduga tidak sejalan ideologi negara, yakni Pancasila. Kehadiran mereka dinilai tidak membuat suasana masyarakat menjadi sejuk, tetapi justru rentan terpecah-belah akibat materi ceramah yang cenderung intoleran, ekstrem, dan eksklusif.
Apakah Ustaz Somad, Arifin Ilham, atau Adi Hidayat dinilai intoleran, ekstrem, dan eksklusif? Yang bisa menjawab tentu Ormas Islam yang telah memberikan masukan itu. Informasi yang beredar, memang ada oknum pejabat di sebuah BUMN yang dinilai sering menghadirkan penceramah beraliran radikal sehingga mendapatkan banyak komplain dari pelanggan.
Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang, 200 mubaligh yang masuk dalam daftar rekomendasi Kemenag, bukanlah hal yang wajib diikuti, meskipun sangat dianjurkan. Hal itu sekadar untuk memberikan gambaran bagaimana seharusnya BUMN menghadirkan penceramah yang mampu menciptakan kesejukan dan kedamaian di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
baca sumber
Menurut Lukman, nama-nama tersebut merupakan hasil masukan dari sejumlah ormas Islam, termasuk masjid-masjid besar dan tokoh ulama. Nama-nama mubalig itu diperlukan, karena banyak yang meminta, baik dari instansi pemerintah maupun BUMN terkait dengan masuknya bulan Ramadan.
Meski Kemenag merilis 200 mubalig untuk digunakan, Lukman menekankan sifatnya tidak wajib. Apabila ada yang menginginkan nama di luar itu, Kemenag tak mempersoalkan karena nama-nama mubaligh itu dibuat hanya untuk memenuhi permintaan dari kementerian/lembaga serta BUMN, yang bingung mencari penceramah selama Ramadan ini (goriau.com, 19 Mei. 2018).
Pernyataan Menteri ada benarnya. Rekomendasi 200 mubaligh itu sebagai respons atas banyaknya reaksi dari sejumlah ormas Islam, khususnya NU dan Muhammadiyah, yang dinilai mulai resah dengan banyaknya penceramah yang diduga tidak sejalan ideologi negara, yakni Pancasila. Kehadiran mereka dinilai tidak membuat suasana masyarakat menjadi sejuk, tetapi justru rentan terpecah-belah akibat materi ceramah yang cenderung intoleran, ekstrem, dan eksklusif.
Apakah Ustaz Somad, Arifin Ilham, atau Adi Hidayat dinilai intoleran, ekstrem, dan eksklusif? Yang bisa menjawab tentu Ormas Islam yang telah memberikan masukan itu. Informasi yang beredar, memang ada oknum pejabat di sebuah BUMN yang dinilai sering menghadirkan penceramah beraliran radikal sehingga mendapatkan banyak komplain dari pelanggan.
Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang, 200 mubaligh yang masuk dalam daftar rekomendasi Kemenag, bukanlah hal yang wajib diikuti, meskipun sangat dianjurkan. Hal itu sekadar untuk memberikan gambaran bagaimana seharusnya BUMN menghadirkan penceramah yang mampu menciptakan kesejukan dan kedamaian di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
baca sumber
HALAMAN SELANJUTNYA: